Senin, 26 November 2007

Fwd: [Republika Online] Halal Kok Beracun



25 Nopember 2007
Halal Kok Beracun
rig/run

Dia hanya gadis biasa. Just an ordinary girl, seperti ditulisnya di sepucuk surat elektronik yang dikirimkannya ke sebuah forum diskusi dunia maya, sma1bks@yahoogroups.com. Dalam suratnya, gadis berinisial WP tersebut menumpahkan kegalauannya soal makanan yang tak lagi aman dikonsumsi.

Dengarlah keluh kesahnya, ''Klo kita mo makan daging ayam, harus waspada terhadap virus flu burung. Klo kita mo makan sayuran, ancaman akumulasi pestisida juga jadi pertimbangan. Klo kita mo makan ikan, tahu, bahaya formalin jadi ancaman. Lalu haruskah kita makan sesama kita? Berubah menjadi kanibal2, duplikat, triplikat,...kat,...katnya Sumanto? Mungkin Sumanto telah lebih dulu menemukan alternatif bahan pangan yang menurutnya "aman"? What's wrong with us?''

Kegeraman tergambar jelas dalam pilihan kata gadis itu. Kegeraman yang tentu saja wajar, karena makanan memang telah membuat paranoid. Sebab ketika bahan-bahan seperti formalin, boraks, dan pewarna tekstil masuk ke makanan, dia menjadi racun yang penyebab penyakit, bahkan kematian.

Sejumlah ibu rumah tangga memang menjadi was-was oleh bahan-bahan itu. ''Bukan khawatir lagi, saya dan keluarga merasa takut,'' kata Yulfa (36 tahun), warga Kopo, Bandung, kepada Republika, pekan lalu.

Yulfa kini hanya mau membeli ayam hidup. Sebelum membeli tahu, dia juga menekan permukaannya, untuk memastikannya tak berformalin. Dia juga telah melarang ketiga anaknya menyantap bakso sembarangan.

Perubahan perilaku Yulfa bermula ketika anak pertamanya, Yuli, yang masih duduk di bangku kelas I sebuah SMA di Bandung, tiba-tiba mengalami radang usus. Yuli sempat dirawat 10 hari di rumah sakit. Yulfa menduga radang usus itu datang dari bakso berboraks yang kerap disantap anaknya yang sangat doyan bakso. Boraks, antara lain memang menyerang pencernaan.

Setelah keberadaan bahan-bahan berbahaya itu terungkap secara luas, penggunaannya menurun. Setidaknya demikian hasil inspeksi dan pengamatan tiga lembaga yaitu Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Namun ketiga lembaga tersebut mendapati bahan-bahan tersebut masih beredar pada lima persen makanan. ''Tidak tertutup kemungkinan menjadi banyak lagi kalau pengawasannya tidak baik,'' kata Ketua YLKI, Husna Zahir, pekan lalu.

Apalagi, setelah pamor formalin dan boraks menurun, muncul lagi bintang baru: klorin. Bila formalin dan boraks menyerang aneka lauk-pauk dan jajanan, pewarna pakaian menyerang buah dan jajanan, dan pestisida menyerang sayuran dan buah, maka klorin menyerang beras, makanan pokok bangsa Indonesia. Klorin ditemukan di Tangerang sampai Manado.

Ketidakberesan soal makanan itu semakin lengkap oleh kasus-kasus bahan makanan tak sehat yang terus berulang. Antara lain penjualan ayam mati kemaren (tiren), daging sapi yang dioplos daging celeng, daging sapi glonggongan, serta daging unggas dan ternak yang dikhawatirkan mengandung virus flu burung.

Bangkai dan daging babi, sudah jelas statusnya dalam hukum Islam, yaitu haram. Tapi, terhadap makanan yang mengandung formalin, boraks, klorin, dan pewarna pakaian, sampai kini statusnya masih menggantung. Beberapa waktu lalu, Ketua MUI, Amidhan, menegaskan makanan berformalin haram dikonsumsi. Meski demikian, itu baru pernyataan pribadi.

Direktur Eksekutif LPPOM MUI, Dr Ir Muhammad Nadratuzzaman Hosen, enggan berspekulasi dengan menempatkan bahan-bahan berbahaya itu dalam salah satu kategori: halal, haram, makruh, mubah. ''Makanan itu halal, tapi jelas tidak thayib (baik, red) karena merusak manusia,'' katanya, diplomatis.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Nadratuzzaman mengatakan hanya bisa dengan keseriusan dan kerja sama. Persoalan halal dan thayib yang selama ini diurus terpisah oleh LPPOM MUI dan Badan POM, kata Nadratuzzaman, juga perlu diintegrasikan. Apalagi, beberapa ayat Alquran menyebut keduanya bergandengan: halalan thayyibah.

''Kalau kita tidak ingin bangsa Indonesia menjadi sakit-sakitan dan bodo-bodo, kita harus menangani persoalan makanan ini secara berjamaah dan membuang ego sektoral. Masyarakat juga harus selektif memilih makanan, karena kesehatan itu mahal,'' katanya.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=314930&kat_id=3