Senin, 19 November 2007

Fwd: OOT: Masa Depan Keluarga Kita

--- In ekonomi-islami@yahoogroups.com, "Nilna Iqbal"

"Keluarga telah mati, kecuali pada tahun pertama atau tahun kedua
selama mengasuh anak." (William wolf - psikolog)

Para kritikus sosial sedang punya kesempatan baik berspekulasi
tentang masa depan keluarga. "Keluarga akan mendekati titik kepunahan
total," kata Ferdinand Lunberg, pengarang The Coming World
Transformation.

Dulu, ikatan keluarga amat mesra. Kekerabatan pun berlangsung
sepanjang usia. Ayah, ibu, kakek dan nenek tiap hari kumpul bersama.
Hidup damai, tenteram, tak tergesa-gesa. Itulah ciri peradaban
masyarakat pertanian setiap negara.

Lalu masuk era industrialisasi, berubahlah suasana. Hubungan manusia
dengan tempat pemukiman terancam sirna. Manusia pun mulai menjalani
kehidupan serba keras, lapar, berbahaya, dan mengelana. Tapi kendati
demikian, fungsi rumah (meski hanya sebuah gubuk) tetaplah jadi
tempat berlindung utama.

Kepustakaan penuh dengan petunjuk yang baik tentang pentingnya
rumah. "Seek home for rest, for home is best." Carilah rumah untuk
istirahat, sebab rumah itu paling ramah. Begitu nasehat Thomas
Tussers dalam Instructions to housewifery, sebuah buku petunjuk abad
ke-16. Yang lain lagi, "A man's home is his castle …" (rumah
seseorang adalah istananya). "Home, sweet home …" (rumahku, rumah
yang manis). Begitu mesra hubungan manusia dengan rumahnya.

Lalu datang industrialisasi modern. Ia kian menuntut adanya massa
pekerja yang siap dan mampu meninggalkan tanahnya untuk mencari
pekerjaan dan pindah tempat berkali-kali. Ini berbeda sekali dengan
masyarakat tani yang cenderung menetap menetap untuk jangka waktu
yang lama. Revolusi industri mulai merenggangkan kasih mesra manusia
dengan tempat tinggalnya.

Akibatnya, keluarga besar (extended family) termasuk di dalamnya
ayah, ibu, anak, paman, bibi, kakek dan nenek, sedikit demi sedikit
terpaksa "merampingkan tubuhnya". Timbullah apa yang
dinamakan "keluarga inti" (nuclear family). Itulah dia, suatu unit
keluarga yang ringkas, portable (mudah dibawa) kemana-mana. Ia hanya
terdiri dari suami, istri dan sejumlah kecil anak mereka. Keluarga
ini, yang jauh lebih mobile sifatnya dari keluarga besar tradisional,
jadi model standar di semua negara. Termasuk di Indonesia.

Dampaknya ternyata juga bukan hanya memperenggang hubungan manusia
dengan rumahnya, tetapi juga memperpendek tali kasih manusia dengan
sesama manusia lainnya. Termasuk dengan sesama anggota keluarga.
Mulailah banyak yang merasakan hidup bagai dalam losmen belaka. Tamu-
tamunya jarang berjumpa, seolah-olah tidak saling mengenal. Tak ada
waktu untuk membicarakan masalah-masalah bersama. Tak ada pula
aktivitas yang ditujukan untuk kepentingan bersama.

Kegiatan mondar-mandir, bermusafir dan pindah tempat tinggal,
akhirnya jadi kebiasaan hidup. Makin besar mobilitas, makin banyak
perjumpaan tatap muka yang singkat. Kontak antar manusia jadi
sepintas, yang masing-masing merupakan hubungan tertentu yang
fragmentaris dan dalam waktu yang amat terbatas. Kebiasaan ini pun
terbawa dalam kontak keluarga. Tentu ya … sentuhan kasih, akhirnya
tinggal menunggu senja tiba.

Inang-Inang Pengasuh Anak

Di waktu lampau, paman, bibi, nenek dan kakek mempunyai pengaruh
besar terhadap perkembangan jiwa seorang anak. Mereka turut membina,
melatih dan mengasuh si anak, terkadang bahkan sampai tahap dewasa.

Lihatlah zaman sekarang. Keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu
dan anak menjadi lebih penting kedudukannya. Paman, bibi, kakek dan
nenek sudah tak lagi memberikan perlindungan berarti seperti dulu.
Dengan demikian keluarga inti lah yang menjadi sumber utama
pembentukan watak, akhlak, kebiasaan dan perilaku anak. Ayah dan ibu,
dua-duanya masih mampu dan mau mendidik anak-anaknya.

Akan tetapi, ketika laju perkembangan kian deras, pergeseran mulai
membuka suasana baru. Kesibukan pun mulai memaksa ayah menjalani
hidup lebih banyak di luar rumah. Pergi pagi, pulang malam. Kadang
tak sempat bercengkerama dengan istri dan anak-anaknya. Masih untung,
ada sang ibu, yang siap mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Lalu lahirlah gerakan emansipasi. Para ibu mulai merasa "dipingit"
kalau terlalu banyak di rumah. Tuntutan itu bergema dimana-mana,
sampai ke pelosok desa. Tak dapat dielakkan lagi, akhirnya ayah dan
ibu, dua-duanya, keluar dari rumah, sama-sama bekerja. Waktu
interaksi antara ayah-ibu dengan anak-anaknya makin luntur dalam rona
kelabu senja.

Urusan anak, sejak itu, mulai diserahkan sepenuhnya kepada orang
lain. Mulailah masuk anggota keluarga baru, inang pengasuh (merangkap
pembantu atau tidak) dalam struktur keluarga. Inang pengasuh itu,
saat ini telah menggantikan fungsi ibu.

Selain itu fungsi orang tua lainnya yang juga diserahkan kepada orang
lain (atau pihak luar) adalah fungsi sebagai pendidik anggota
keluarga. Fungsi ini kini telah begitu mapan. Telah banyak keluarga
yang menyerahkan dan mempercayakan pembinaan anaknya kepada lembaga
pendidikan, sepenuhnya, sehingga perhatian dan kontrol ayah-ibu luput
begitu saja.

Orang Tua Profesional

Apakah yang bakal terjadi di masa depan? Kalau kecenderungan ini
masih tetap demikian, bisa diperkirakan mobilitas hidup manusia akan
semakin tinggi. Tuntutan "survive" dalam kancah kehidupan secara
layak menimbulkan alam persaingan semakin kejam. Karena itu, bisa
jadi pada sebagian keluarga, proses perampingan keluarga itu akan
terus berlanjut, yaitu keluarga tanpa anak. Keluarga hanya tinggal
komponennya yang paling elementer, seorang pria dan seorang wanita.

Dua orang itu, mungkin dengan karir yang sepadan, akan terbukti lebih
efisien untuk mengarungi pendidikan dan lika liku sosial, melalui
perubahan pekerjaan dan relokasi geografis global, dibanding keluarga
tradisional yang sering direpoti anak.
Pada masa seperti itu, ada kemungkinan lahirlah jenis profesi baru.
Profesi yang khusus mengasuh dan mendidik anak secara lebih baik,
yaitu "keluarga profesional".

Kalau itu benar-benar terjadi, muncullah dua jenis orang tua: orang
tua biologis dan orang tua profesional. Orang tua biologis adalah
yang melahirkan anak, sedangkan orang tua profesional adalah yang
mengasuh, membesarkan dan mendidik anak.

Atau pada sebagian keluarga ada pula yang memilih melakukan suatu
kompromi berupa penundaan waktu beranak. Gejala ini terlihat dari
banyaknya pria atau wanita yang terombang-ambing dalam konflik antara
komitmen pada karir atau komitmen pada anak. Maka mulai banyak
pasangan akan menghindari persoalan itu dengan menunda seluruh
kewajiban mengasuh anak, bisa jadi sampai sesudah pensiun.

Andaikata diberi kesempatan, banyak orang tua yang makin senang hati
menyerahkan tanggung jawab keibu-bapakan mereka kepada orang lain,
bukan karena tidak memiliki rasa tanggungjawab atau kasih sayang.
Mereka pusing, bingung, terpojok. Mereka mulai insaf bahwa mereka
sudah tak mampu menunaikan kewajiban. Dalam keadaan ekonomi
berkecukupan dan dengan tersedianya "jasa orang tua profesional" yang
(berijazah mungkin) dan telah berketrampilan khusus (tentang
parenting), banyak orang tua biologis tidak hanya akan senang
menyerahkan anaknya kepada mereka, bahkan memang memandang langkah
itu sebagai suatu tindakan kasih sayang kepada masa depan anaknya.

Lalu jangan heran, kalau suatu hari nanti, kita akan baca sebuah
iklan, "Mengapa kewajiban sebagai orang tua membelenggu anda?
Percayakanlah kami mengasuh anak Anda menjadi orang dewasa yang
bertanggung jawab dan berhasil. Keluarga profesional `Happy Family'
terdiri dari seorang ayah usia 39 tahun, ibu 36 tahun, seorang nenek
57 tahun. Paman dan bibi masing-masing 30 tahun dan tinggal bersama.
Unit empat-anak masih dapat menerima seorang anak lagi usia 6 – 8
tahun. Makanan teratur, melebihi standar pemerintah. Semua orang
dewasa sudah berijazah parenting berlisensi. Orang tua biologis boleh
mengunjungi anak secara berkala. Ada kesempatan pula untuk saling
kontak via telpon. Anak boleh berlibur dengan orang tua biologis.
Kontrak minimal 5 tahun. Rincian lebih lanjut, silakan hubungi telpon
1234567890."

Bagaimana, Anda jadi tertarik baca iklan seperti itu?

Salam
Nilna --
Baca artikel-artikel lainnya di PustakaNilna. com