Minggu, 16 Desember 2007

Fwd: [Republika Online] Imbas Ekonomi HIV/AIDS





09 Agustus 2007
Imbas Ekonomi HIV/AIDS

Atas undangan AusAID wartawan Republika Subroto menghadiri The Third Ministerial Meeting on HIV/AIDS di Sydney, Australia, 23 Juli lalu. Bahaya pengaruh HIV/AIDS terhadap kehidupan dunia, dibahas dalam pertemuan ini. Berikut laporan pertama dari dua tulisan.

Hingga kini kalangan kedokteran belum berhasil menemukan vaksin untuk menangkal Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyebabkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Upaya maksimal yang dilakukan adalah menahan laju virus mematikan itu. Dengan ditemukannya obat antiretroviral, pengidap HIV/AIDS bisa bertahan hidup lebih lama. Wabah HIV/AIDS pun makin menjadi.

Tak kurang dari 40 juta penduduk dunia kini hidup dengan HIV/AIDS. Seperlima dari pengidap tinggal di wilayah Asia Pasifik. Asia kini menjadi salah satu wilayah dengan perkembangan HIV/AIDS paling cepat. Ada sekitar satu juta penderita baru muncul dalam setahun terakhir. Deputi Direktur Eksekutif Program UNAIDS, Michel Sidibe, mengingatkan masyarakat dunia akan pentingnya mencegah ledakan baru HIV/AIDS. Ini untuk menghindari terjadinya kembali 'pengalaman Afrika' 15 tahun lalu.

''Saya pikir sangat penting bagi kita untuk memastikan bahwa kita tidak mendapatkan pengalaman Afrika,'' kata dia dalam konferensi pers usai petemuan tingkat tinggi para menteri yang membahas HIV/AIDS di Sidney, Australia 23 Juli lalu. Pertemuan menteri di kawasan Asia Pasifik yang bertema 'Pemerintah dan Dunia Usaha Menanggulangi HIV/AIDS' itu dihadiri para wakil pemerintahan dari Australia, Kamboja, Cina, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Thailand, Singapura, Srilanka, dan Vietnam. Selain itu hadir pula perwakilan dunia usaha, perwakilan dari UNAIDS, Global Fund, dan lembaga donor lainnya.

Michel mengatakan, 15 tahun lalu Afrika Selatan yang kini merupakan negara dengan angka infeksi tertinggi, memiliki tingkat prevalensi di bawah Kamboja dan Papua Nugini. ''Lima belas tahun lalu, jumlah penduduk dunia yang terinfeksi sekitar 1,2 persen, dan sekarang sekitar 25 persen. Jadi, sangat penting bagi kita untuk fokus pada apa yang sedang kita kerjakan. Satu orang dirawat, kita punya enam kasus baru,'' tutur dia. HIV/AIDS bukan hanya menjadi masalah kesehatan dan sosial. Dampak yang ditimbulkannya mengimbas ke bidang ekonomi. Wabah ini berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi karena mayoritas yang terjangkit usia kerja atau produktif (15-49 tahun).

Dengan makin banyaknya pengidap HIV/AIDS maka dunia usaha merasakan langsung dampaknya, antara lain, tuntutan tambahan biaya untuk pos kesehatan, dan penurunan produktivitas. Menlu Australia, Alexander Downer, mengatakan pada 2001, diperkirakan kerugian akibat HIV/AIDS di kawasan Asia Pasifik mencapai 7,3 miliar dolar AS. ADB dan UNAIDS memperkirakan jika wabah ini terus berjalan diperkirakan kerugian ekonomi akibat HIV/AIDS pada 2010 akan melonjak menjadi 18,7 miliar dolar AS, dan 26,9 juta dolar AS pada 2015. ''Kesadaran para pebisnis perlu digugah bukan hanya karena persoalan kemanusiaan, namun juga alasan ekonomi,'' ujar Downer.

Menurut Downer, pertemuan Sidney ini penting untuk meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan kalangan bisnis dalam rangka perang melawan AIDS. Delegasi yang hadir sepakat memperkuat jaringan dan layanan di lini terdepan menghadang epidemi AIDS di kawasan Asia Pasifik. Pemerintah, kata Downer, dapat menyediakan dana, membangun prioritas, dan dukungan untuk menghadang penyebaran AIDS. Sedangan kalangan dunia usaha dapat menciptakan program yang inovatif untuk membuat pekerjanya peduli terhadap HIV dan membantu mereka melindungi diri mereka sendiri dan keluarganya menghadang virus itu.

''Ketika kalangan bisnis dan masyarakat bersama-sama melakukan sesuatu, hasilnya bisa sangat luar biasa,'' ungkap Downer menegaskan. Menurut Stephen Grant, CEO Asia Pasific Business Coalition on AIDS (APBCA), sektor swasta dapat memainkan perannya dalam menanggulangi ancaman HIV/AIDS dengan menciptakan kesadaran penuh akan isu HIV di tempat-tempat kerja. APBCA didirikan kalangan bisnis sebagai respons langsung kebutuhan sektor swasta bekerja sama, berkoordinasi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di kawasan Asia Pasifik.

Lembaga ini diresmikan oleh Downer dan mantan presiden AS, Bill Clinton, Februari 2006. Pertemuan di Sydney itu juga menampilkan pengalaman dunia usaha dalam program penanggulangan HIV/AIDS. Antara lain Nestle, BHP Billiton (Afrika Selatan), Nasfun (Papua Nugini), Cambodia Brewery Ltd (Kamboja), Qantas (Australia), dan Adidas (Vietnam). Indonesia diwakili oleh Gajah Tunggal. Gajah Tunggal yang mempekerjakan lebih dari 10 ribu karyawan yang umumnya wanita, bergabung dalam kampanye penanggulangan HIV/AIDS sejak 2003.

Program yang dijalankan oleh perusahaan itu, antara lain, mewajibkan pelatihan pencegahan HIV/AIDS kepada pekerjanya melalui kader penyuluhan oleh karyawan sendiri. Mereka membuka diskusi dan kesempatan bertanya tentang HIV/AIDS. Saat ini seluruh karyawan sudah mendapat pelatihan HIV/AIDS. Program ini masih diteruskan dengan meningkatkan kewaspadaan melalui pesan-pesan pencegahan HIV/AIDS di tempat kerja.

Menkes, Siti Fadilah Supari, yang menjadi salah satu delegasi Indonesia menyatakan sejumlah perusahaan di Indonesia sudah melakukan upaya sendiri menanggulangi HIV/AIDS di tempat kerja. Hanya, karena dilakukan secara sendiri-sendiri dampaknya belum begitu terasa. ''Setelah pertemuan ini nantinya kita akan mengoordinasikan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di bawah Komisi Penanggulangan AIDS (KPA),'' kata Siti Fadilah.

Sementera itu Sekretaris KPA, Nafsiah Mboy, mengatakan upaya melibatkan dunia usaha dalam penanggulangan HIV/AIDS sangat tepat karena di Indonesia pengidap HIV/AIDS sebagian besar adalah pria. ''Tempat kerja adalah lokasi yang paling tepat untuk menginformasikan masalah ini. Dan di sini peran perusahaan sangat besar,'' kata Nafsiah.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=302880&kat_id=3