Minggu, 16 Desember 2007

Fwd: [Republika Online] Siksaan Krisis Minyak Tanah




03 September 2007
Siksaan Krisis Minyak Tanah

Selepas Shalat Subuh awal pekan lalu, Rohati (29 tahun) yang tinggal di rumah petak di kawasan Ragunan, Jaksel, bersemangat bangun pagi. Dia lalu bersih-bersih rumah, mencuci pakaian, dan mandi.

Sebelum anaknya yang berumur 18 bulan bangun, ia sudah bergegas pergi ke warung di ujung gang untuk membeli bahan makanan mentah yang akan dimasaknya. Sementara suaminya, sebut saja Nasir (35 tahun), sibuk membaca koran dan menonton tayangan berita di televisi, sebagai sarapan utama menjelang berangkat kerja.

Pulang dari warung, Rohati hanya membawa seikat bayam. Suaminya pun bertanya-tanya. Bukankah saat istrinya kembali itu masih cukup pagi untuk mendapatkan bahan masakan yang lengkap sehingga bisa makan empat sehat lima sempurna di rumah? Batin sang istri seperti dapat menangkap keheranan itu. ''Tak jadi belanja, percuma enggak ada minyak tanah yang bisa dibeli. Ini cuma beli bayam karena bisa dimasak di magic jar untuk makan si kecil,'' tutur Rohati kepada suaminya.

Rohati lalu bercerita, warung sayuran Mbak Siti yang jadi langganannya tiap pagi, hari itu bisa rugi besar. Sebab, belasan ibu rumah tangga yang datang 'menyerbu', memilih urung berbelanja sayuran dan lauk-pauk mentah karena jeriken minyak tanahnya tak dapat diisi sehingga kompor tak bisa difungsikan untuk memasak.

Sampai sehari sebelumnya, di warung itu minyak tanah masih bisa didapat, kendati harganya terus merambat naik menjadi Rp 4 ribu hingga Rp 5 ribu per liter seiring menipisnya persediaan. ''Sekarang habis stok dan belum ada pasokan lagi,'' kata pemilik warung sambil was-was sayurannya yang dibeli dari Pasar Minggu sewaktu subuh menjelang, akhirnya membusuk dan mubazir tak terjual, sehingga modal pun tak kembali.

Di rumah, Rohati pun bingung. Suaminya menghibur, ''Sudahlah, untuk sementara kita beli makanan siap santap di warteg.'' Solusi ini disepekati. Tiba-tiba si kecil bangun dan minta dibuatkan susu. Rohati baru sadar, air panas di termos sudah habis. Kebingungan pun menumpuk.

Untungnya ia masih bisa memberi ASI. Tapi kegusarannya tidak hilang, karena si kecil biasanya tidak bisa kenyang hanya dengan netek, kalau belum minum 5-6 botol susu bayi instan dalam sehari. Langkah suaminya untuk pergi kerja pun tersendat. Nasir tak tega meninggalkan anak dan istrinya dalam situasi darurat di rumah. Sebenarnya dia ingin sekali mencoba berkeliling untuk mendapatkan minyak tanah.

Cuma, berita di koran maupun televisi yang menggambarkan betapa hebatnya antrean pembeli minyak membuat dia tak bersemangat untuk mewujudkan niat tersebut. Suasana hening sebentar sampai Rohati kemudian mengeluarkan unek-uneknya. ''Kenapa sih minyak tanah bisa langka begini, Mas?'' Nasir menjawab dengan tangkas, ''Menurut berita, Pertamina sengaja mengurangi 70 persen pasokan untuk memuluskan program pemerintah mengonversi penggunaan minyak tanah ke gas elpiji. Jadi, ini suasana menderita yang disengaja.'' Rohati tak berhenti mengeluh.

Rohati tidak sendiri. Dalam dua pekan terakhir, warga Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) juga merasakan hal yang sama. ''Saya sudah dua minggu terakhir ini tidak lagi menjual minyak tanah karena harus antre untuk mendapatkan di pangkalan penjualan minyak tanah,'' kata Samsudin, salah seorang penjual minyak tanah di Kelurahan Liliba. Ia mengatakan, harga minyak tanah yang diambil di pangkalan atau agen-agen penjualan minyak tanah lainnya dengan harga Rp 2.500/liter, harus dijualnya ke konsumen harus dengan harga Rp 2.750/liter.

''Harga jual di tingkat pengecer ini sudah sangat mahal sehingga saya memilih untuk tidak menjualnya, karena konsumen juga merasa berat membelinya, kecuali dalam keadaan terpaksa,'' ujarnya. Menurut dia, untuk mendapatkan bahan bakar tersebut di pangkalan, masing-masing agen di tingkat bawah hanya dijatah dua drum dari sebelumnya lima drum (satu drum setara dengan 200 liter).

Namun demikian, Wira Penjualan Pertamina Cabang Kupang, ACH Chambali mengungkapkan saat ini tidak terjadi kelangkaan minyak tanah di Kota Kupang seperti yang dirasakan konsumen. Menurut dia, kekosongan di pangkalan minyak tanah terjadi karena agen terlambat menyalurkan bahan bakar tersebut, sehingga dirasakan semacam ada kelangkaan. Kelangkaan minyak juga dirasakan sejumlah warga di Desa Sidorejo, Kec Wungu, Kab Madiun, Jatim. Mereka terpaksa memanfaatkan blotong atau limbah pengolahan tebu pabrik gula sebagai pengganti bahan bakar minyak tanah untuk memasak.

Menurut Ismin (45 tahun), warga Desa Sidorejo, keberadaan limbah pengolahan tebu dari pabrik gula yang ada di Madiun memberi berkah tersendiri saat minyak tanah langka dan mahal seperti sekarang ini. Kata dia, cara memanfaatkan limbah tersebut untuk menjadi bahan bakar cukup mudah. Limbah tersebut cukup dijemur, dan setelah kering bisa dibakar menjadi pengganti minyak tanah.

Di Bandung, kelangkaan minyak tanah juga mulai terasa. Seorang penjual minyak tanah eceren Ny Yaya (55 tahun) di Arcamanik, Bandung, terpaksa tidak menjual minyak tanah yang dimilikinya. Minyak tersebut dia simpan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Saat pembeli datang, dia mengatakan warungnya sementara ini tidak menjual minyak tanah. Dia mengungkapkan dalam empat hari terakhir, penyalur yang biasa mengirim minyak ke warungnya tidak datang. Saat ditanya soal kemungkinan mengganti kompor minyaknya dengan kompor gas, dia pun mengaku tak tertarik. zam/ant


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=305508&kat_id=3