Minggu, 16 Desember 2007

Fwd: [Republika Online] Kisah Tentang Hilangnya Generasi




10 September 2007
Kisah Tentang Hilangnya Generasi
ruz

Sesosok laki-laki bertubuh kurus kering, berkulit hitam dekil, rambut gimbal acak-acakan, sangat tak terawat, tampak mengais-ngais tempat sampah. Sosok tersebut menarik perhatian Nurdin untuk mempertegas pandangan matanya. Raut wajah yang tak asing dalam ingatan Nurdin.

''Doyok! Apa kabar?'' sapa hangat Nurdin kepada lelaki itu. Tidak ada jawaban dan yang terdengar justru tertawaan dengan mata melotot. ''Ah masak sih Doyok jadi gila gitu,'' ucap Nurdin yang masih tampak terpana tak pecaya dan kembali menoleh ke arah lelaki itu.

Doyok dan Nurdin sama-sama warga Kompleks Perumnas, Beji, Depok Utara, Kota Depok. Doyok hanyalah nama panggilan. Usianya empat tahun lebih tua dari Nurdin yang kini berusia 40 tahun. Semasa remaja, Doyok, pemilik nama asli Dwi Wibowo, merupakan sosok periang, humoris, dan sangat menyenangkan dari keluarga perwira polisi yang cukup berada.

Perilakunya berubah semasa kuliah. Doyok menjadi sosok yang sangat beringas dan ditakuti di seantero kampung. Kala itu Doyok juga terkenal sebagai BD (bandar), juga pemakai narkoba jenis ganja dan obat-obatan daftar G (BK, Nipam, Magadon, Leksotan dan Rohipnol). Sejak itu, keluar masuk penjara menjadi langganannya.

Tentu ulah Doyok itu membuat keluarga besarnya malu. Akibat kecanduan narkoba, sedikit demi sedikit harta keluarga berikut rumah habis dijual. Hal itu membuat kedua orang tuanya stres dan jatuh sakit, tidak beberapa lama kemudian ayahnya meninggal dunia, dan disusul sang bunda. Sejak itu Doyok hidup luntang-lantung dan kini kesehariannya mencari makan dari sisa-sisa makanan yang dibuang di tempat-tempat sampah.

Kisah tragis Doyok juga dialami lelaki yang akrab disapa Tijen, jauh lebih muda dari Doyok. Usianya 35 tahun. Masa remajanya di tahun 1990-an, dia merupakan seorang BD sekaligus pemakai narkoba jenis cimeng (ganja), putau (krak heroin) dan shabu-shabu (bubuk amphetamin).

Akibat candu narkoba jenis putau dengan penggunaan jarum suntik, Tijen divonis mengidap HIV/AIDS. Hal itu membuatnya frustrasi dan selama dua tahun Tijen hidup dengan kondisi setengah gila. Pada Juli lalu Tijen akhirnya meninggal dunia.

Doyok dan Tijen hanyalah contoh pecandu narkoba dari puluhan pecandu narkoba yang masih hidup maupun yang sudah meninggal di kawasan kompleks Perumnas, Beji, Depok Utara.

Banyak generasi muda di kawasan ini meninggal dengan selang waktu yang relatif cepat. Pada era 1998 sampai 2004, hampir setiap sebulan sekali dua sampai tiga pemuda meninggal selain karena overdosis (OD), juga karena berbagai macam komplikasi penyakit seperti paru-paru, jantung, lever, hepatitis, sampai HIV/AIDS.

Situasi dan kondisi di kawasan yang berada tidak jauh dari pintu belakang Kampus Universitas Indonesia (UI) saat ini sudah menjadi 'kampung mati'. ''Sebagian besar remaja sudah habis, mati! Pernah pada 2001, hanya dalam waktu sebulan mencapai 10 orang mati karena overdosis. Mati kok kayak janjian aja,'' tutur Deddy Rinaldi, pengurus RW 07, Beji, Depok Utara. ''Bisa dibilang saat ini sudah tidak ada lagi remaja atau pemuda. Kalaupun ada yang tersisa, yang tampak remaja atau pemuda stres dan gila,'' tutur Dedi lagi.

Novli Adri yang mengambil inisiatif membentuk Gerakan Anti-Putau dan Shabu (GAPS) di kawasan tersebut mengatakan, memang saat ini di kampung tersebut terkesan lebih tenang, sepi, dan agak bersih dari narkoba. ''Itu tidak lain karena banyak pecandu yang sudah mati atau sedang mendekam di balik jeruji besi,'' ungkap dia.

Akibat rangkaian kematian itu, Novli menuturkan, kini sudah tidak tampak dan terdengar lagi remaja yang giat berolah raga, aktif berkesenian, pengajian di masjid, dan berbagai macam aktivitas keorganisasian di Karang Taruna masing-masing RW mauupun organisasi remaja masjid. Padahal, dulu setiap hari, kampung tersebut semarak dengan segala aktivitas.

Keceriaan dan berbagai macam aktivitas itu semakin hilang dengan cepat seiring mulai mewabahnya putau dan shabu-shabu pada 1995-an. Secepat kilat hampir seluruh remaja perilakunya berubah menjadi brutal. Hampir setiap hari terjadi perkelahian di antara mereka. Di setiap pojok jalan tampak kumpulan remaja berpesta seks dan narkoba yang dilakukan tidak kenal waktu. Transaksi narkoba berlangsung bebas dan sangat terbuka. Pemakai bisa langsung memakainya di tempat atau membawanya pulang.

Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI), Erlangga Masdiana, mengatakan persoalan pemberantasan peredaran narkoba tidak bisa semata datang dari para penegak hukum terutama polisi, tapi juga dari masyarakat itu sendiri. ''Apa kita mau kehilangan satu generasi gara-gara narkoba?'' kata Erlangga. Dia menilai aparat kepolisian selama ini tidak serius dalam memberantas penggunaan dan peredaran narkoba.

Kabid Penegakan Hukum (Gakum) Badan Narkotika Kota (BNK) Depok, Kompol Mulyanto, menegaskan bahwa upaya memerangi peredaran narkotika dan psikotropika harus didukung masyarakat. Pemberantasan tanpa dukungan dari masyarakat akan sulit tercapai secara optimal. Dia menambahkan bahwa kasus narkoba di Kota Depok menjadi kasus yang dominan dalam persidangan di tingkat Pengadilan Negeri Kota Depok.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kejaksaan Negeri Kota Depok, pada 2004 terdapat 277 kasus narkoba di Kota Depok dengan pelakunya 266 laki-laki dan enam wanita dengan rata-rata kelompok umur 10-28 tahun. Pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan berkisar 30 pesen dan pada tahun 2006 naik 50 persen. Dari jumlah kasus tersebut, baru 50 persen yang disidangkan.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=306333&kat_id=3